Rabu, 28 April 2010

Cita-Cita Runi

“Runi…!!!”teriak Prissil.
“Ada apa, serius banget muka loe?”tanya Runi ingin tahu.
“Ikut Lomba Olimpiade Biologi kan loe?”serentak Runi terkejut, dan hanya bisa diam. Dia pun menggelengkan kepala dan segera berlalu. “Kenapa sih dia?”ucap Prissil bingung.
Hari itu mungkin mentari tak tersenyum pada Runi. Pikiran Runi di kelabuhi oleh nasihat-nasihat ibunya di Kampung yang menginginkan Runi menjadi juara kelas di Sekolah Menengah. Bayangan indahnya seolah redup melihat dirinya yang tidak bisa mewujudkan keinginan ibunya. Sebelumnya ia di Sekolah Dasar terkenal pintar dan selalu memegang juara kelas. Dia pun sangat menggemari Mipa. Tetapi sayang, hal itu tak pernah terwujud lagi semenjak kegemarannya menggambar mulai aktif di SMP. Nilai Mipanya pun seolah tak pernah memuaskan. Dan kini di SMA Merah Putih dia mencoba untuk tidak masuk ekstra Club Art tetapi Olimpiade Biologi. Lagi-lagi hal itu tidak bisa mengembalikan nama baiknya di mata pelajaran Mipa. Malah nilai seni yang termasuk dalam bidang menggambar, tak pernah lepas dari kata the best score..
“Percuma ikut Olimpiade, toh gue nggak akan nyenengin hati ibu.”
Belum sempat ia berkhayal akan ketidak ikut sertaanya dalam Olimpiade, lagi-lagi sekelumit pikiran yang terselip kembali ia sapa.“Bagaimana dengan Prissil,Olla,Vika,Bella? Pasti dia marah kalau gue nggak ikut. Sudah satu kelas, satu exskul Olimpiade Biologi,satu genk lagi. Apalagi mereka akhir-akhir ini baik sama gue, baik sangat malah. Aduh … kenapa sih harus di hadapkan pada pilihan seperti ini. Andai saja gue tak terbebani sama kata-kata ibu, pasti gue bisa bebas dan merdeka di Club Art. Huft!!!”
“Nak kamu harus bisa masuk di universitas jurusan kedokteran atau paling tidak jadilah kebanggaan ibumu untuk menjadi juara kelas di kelasmu.Tapi ingat nak, sungguh ibu tak suka engkau terlalu membanggakan hobi menggambarmu itu. Apa yang kao banggakan dari hobimu itu? Pokoknya Nak, kau harus bisa lebih baik dari SMP dulu! ”kata-kata itu terngiang di telinga Runi. Meski Runi yakin tidak bisa, dia hanya mengangguk lesu ketika ibunya menasihatinya dulu.
Tiba-tiba Bella datang dari hadapan Runi yang kala itu sedang melamun.
“Runi!!! Bengong aja loe!”sentak Bella.
“Iya,ya,ya,ya,ya,ya Bella,Prissil…! Huft … Ngagetin tau?”
“Siap ikut Olimpiade kan?”tanya Bella. Runi pun hanya bisa diam.
“Tenang … kata Mr.Syam semua yang ikut Ekstra Olimpiade Biologi boleh ikut kok.”tukas Prissil.
“Gue nggak bisa!”Runi mencoba menolak.
“Kenapa? Gue pikir loe sudah cukup aktif kok dalam pelajaran biologi. Ya… meskipun nilai di rapor biologi loe hampir menyentuh standart,tapi loe harus bisa buktiin sama anak-anak Club Art itu dong!”
“Buktiin apa?”tanya Runi ingin tahu.
“Ingat Run, nilai Seni loe sangat bagus di mata anak-anak Art. Mereka ingin loe masuk Club mereka. Dan asal loe tahu kita nggak ingin itu terjadi. Terus, sama semua buku-buku les gue yang loe pinjam, gue ingin itu loe manfaatkan dengan loe bisa ikut olimpiade ini. Pokoknya gue nggak mau loe nggak ikut. Nanti apa kata mereka…kalau loe nggak ikut?”Bella mendesak Runi.
“Lagian, gue juga nggak mau lagi kehilangan sahabat yang notabene anak masternya BHS. Inggris! Runi,Bokap loe di Bali kan sebagai tour guide! Pasti karena syndromnya Bokap loe makanya loe bisa pintar BHS.Inggris,!”kata Prissil memuji Runi.
“Apa hubungannya?”tanya Bella.
“Bukannya gitu! Arghhh … Loe nggak tahu sih. Pokoknya gue nggak mau ikut. Titik! Terserah loe mau ngapain?”Runi pun pergi.


“Tet…tet…tet…!!!”saatnya jam pelajaran Seni Budaya di mulai.
“Selamat pagi …!!!”sosok cantik itu telah datang. Dia adalah Madam Diva. Guru mata pelajaran Seni Budaya yang katanya adalah anak blasteran Indo-Prancis.
“Pagi …!!!”serentak anak kelas X-h itu menjawab dengan kompak.
“Oke anak-anak, tak usah berbasa-basi lagi. Sekarang pengumuman itu datang untuk calon-calon pelukis di X-h?”
“Apaan Madam?”tanya Runi ingin tahu.
“Ya, Minggu depan akan diadakan lomba melukis. Lomba melukis antar kelas X, siapa yang jadi pemegang juara I, II dan III memiliki kesempatan untuk mengikuti pameran Lukisan di Jogja, ya tepatnya di sekitar area gallery Affandi. Dan apabila lukisan kalian memiliki nilai jual, nggak tanggung-tanggung panitia di sana akan memajang lukisan kalian? Ada yang tertarik ?”
Suasana terlihat hening. Sepertinya, belum ada satu pun anak yang tertarik. Ketika itu seolah Runi menerima wangsit dari Mama Lorent, ada dorongan kuat dalam benaknya untuk mengiyakan kata tertarik itu.
“Saya Madam.”Runi anak pertama yang mengacungkan tangan. Semua pun tertuju pada Runi.
“Hah …!!!”mata Bella lekas membelalak kaget melihatnya.
“Ya,,,saya akan ikut Madam”
“Ya sudah,,, untuk semua saja, yang ingin mengikuti segera buat konsep gambarannya. Dan nanti istirahat kumpulkan di meja saya.”
“Oke Madam…!!!”sahut anak-anak yang tergabung dalam Club Art.
Madam Diva pun meninggalkan kelas. Selang beberapa saat, gaduh kian menyelimuti kelas.
“Apa-apaan loe ngikut acara nggak penting kayak gitu?”tanya Prissil marah.
“Terserah gue dong!”jawab Runi singkat.
“Mau ngikut club anak-anak Art itu loe?”
“Ngomong apa sih loe Sill, gue cuma pengen ngikut lombanya aja!”
“Oke, fine … dulu waktu MOS loe bukan teman kita, tapi teman anak-anak yang sok jago melukis itu. Teman SMP loe. Dan inget ya Run. loe tenar di Sekolah ini karena kita. Pakai otak dong loe!!!Siapa yang minjemin loe buku, nraktir loe di kantin, antar jemput loe pakai mobil dan satu lagi. Nolongin loe waktu ulangan biologi. Sumpah ya, nggak tahu terimakasih banget loe.”kata-kata Prissil seolah membuat mata Runi berkaca-kaca. Ia tak sedikit pun membalas perkataan Prissil. Toh ucapan Prissil itu ada benarnya. Runi mengagaap dirinya adalah inang untuk anak-anak cerdas itu. Prissil dan teman-temannya pun pergi sambil memukulkan telapak tangan mereka di meja bangku Runi.
“Brak…Brak…Brak…!!!”suara itu terdengar keras hingga menjadi buah bibir.
Setelah mereka semua berlalu, tangisan itu tak tertahankan lagi. Runi menundukkan kepala. Tetesan air mata itu kian deras membasahi buku tulis yang ditumpanginya. “Ya Allah aku harus bagaimana? Aku mengikutinya karena aku yakin mampu. Dan juga, aku ingin membuktikan pada Ibu, bahwa aku ingin mengembalikan namaku sebagai Pemenang. Seperti SMP dulu. Kenapa Ibu selalu menganggap remeh hal itu. Dan teman-teman ku juga, mengapa ia seolah membanggakan hal yang belum tentu aku yakini bisa. Tapi setidaknya , kalau aku tak bisa jadi juara kelas, aku bisa menjadi pemenang dalam Lomba itu. Ya Allah, tolong sampaikan pada Ibu, bahwa seorang pelukis itu adalah cita-cita ku. Aku tahu, ayah pernah gulung tikar membuka gallery lukisan di Jogja, tapi aku tahu itu bukan alasan pasti Ibu untuk mengecam bahwa Pelukis tak akan Sukses.Help me please, God!”

Hari-hari Runi penuh beban. Ia masih segan bila harus bermusuhan dengan teman-teman yang hampir dua semester menjadi karibnya. Tiba-tiba seorang anak pria dari club Art yakni teman SMP Runi mendatangi Runi.
“Hai Run…!!!”sapa anak itu. Runi pun hanya tersenyum kaku dengan lesung pipinya yang terkesan manis.
“Nanti ada wawancara untuk Lomba Melukis. Jangan lupa ya datang. Madam Diva berpesan, katanya kedatangan mu sangat diharapkannya. Sepertinya Beliau menyimpan kejutan untukmu.”
“Iya Bono, gue pasti datang kok!”
“Oke lah kalau begitu!”
Merekapun bercakap ria sambil berjalan menuju kelas. Dalam percakapan itu, Runi pun menceritakan masalahnya pada Bono, dengan tenang Bono pun memberi solusi permasalahannya.
Jarum jam Runi bergerak cepat tepat pada angka sepuluh. Wawancara itu pun dimulai. Anak-anak yang hendak mengikuti lomba Mading di SMA Merah Putih satu per satu datang mengikuti seleksi wawancara di Aula.
“Seruni Wijaya!”suara itu mengagetkan Runi yang hanya terdengar nama belakangnya. Ya, itulah nama ayah Runi.
“Iya saya…”Runi masuk ruang Aula dan berhadapan langsung dengan Madam Diva.
“The best konsep Runi. Orang sudah bisa membaca tentang ini.”pujian Madam Diva seolah membuat muka Runi merah padam. Ia tak menduga, bahwa pujian itu ada untuknya.
“Runi, coba ceritakan mengapa kau memilih konsep sebriliyant ini?”
“Sungguh, itu karena Ibu saya Madam.”
“Konsep gambar mu ini?”sambil menunjukkan konsep gambar Runi.
“Seorang anak yang membasuh kaki ibunya. Ya itulah pikiran saya selama ini, saya selalu tak pernah mengikuti ingin Ibu saya. Ketika hendak minta maaf pada nya, perasaan berat selalu ada. Karena Ibu, selalu menentang cita-cita saya untuk menjadi seorang pelukis. Dan saya ingin membuktikan pada Ibu kelak Madam, bahwa seoarang Pelukis akan selalu menjadi seorang pemenang yang sukses.”
“Sabar ya Run. Semangat untuk cita-cita mu. Konsep mu sudah sangat bagus, saya harap kamu bisa melukiskan konsep ini dengan baik pada waktu lomba. Lusa pengumuman itu akan datang dan ditempelkan di papan pengumuman. Segeralah melihat jika waktunya sudah tiba!” Percakapan itu berlangsung lama hingga akhirnya Runi di perbolehkan menuntaskan sesi wawancaranya.
Runi pun mengangguk. Ketika sudah keluar dari ruang Aula, terdengar celoteh Prissil,Olla,Vika dan Bella.
“Hai kalian …sedang apa di sini?”sapa Runi mencoba berani.
“Ngapain Loe? Pergi!”gertak Prissil.
“Nggak penting banget sih loe di Aula itu!”sahut Bella.
Sebelum menjawab kata itu, Runi menarik napas panjang“Terimakasih kalian sudah menjadi sahabat ku selama ini.”raut pucat pasi menghiasi Runi.
Mereka diam seolah tak biasa menjawab. Selang beberapa detik kemudian Prissil angkat bicara.“Oke kami ngerti, Loe cuma ingin nutupin kebodohan Loe itu kan?”tanya Prissil seolah ingin membuat Runi marah.
“Whatever! Itu masalah kalian, dan gue hanya ingin freedom dari kalian. Tak selamanya kan gue harus penuhi mau kalian!”untuk yang keduakalinya, Runi berlalu tepat di depan pandangan Prissil.


Hari yang dinanti-nantikan Runi telah tiba, dengan sejuta harapan yang terpendam, Runi mencoba bertahan demi mimpinya. Ia menanti papan pengumuman itu. Tak diduga sosok Bono kembali mengagetkan Runi.
“Hei Pemenang, cita-cita mu kelak pasti terwujud!!!”kata Bono lantang.
“Maksud Loe apa Sih cecunguk Bono … ?”
“Loe nggak tau ya? Loe itu menempati peringkat pertama di pengumuman itu! Terpampang jelas nama loe di sana, Se-ru-ni Wi-ja-ya.”dengan raut serius Bono menyampaikannya.
“Serius…Loe?”
“Dua Rius deh …!!!”
Runi berlari menuju papan pengumuman. Nafasnya pun terengah-engah sambil menahan detik-detik ia melihat kemenangannya. Disempatkannya ia berdo’a pada Yang Kuasa, agar ia diberi berkah atas keberhasilannya.
Dia pun sampai dan berdiri di samping kiri papan pengumuman itu. “Seruni Wijaya dengan nila 94 Peringkat teratas.”suara itu keluar dari mulut Prissil.
“Prissil?”kata Runi lirih.
“Loe Pemenang!”teriak Vika keras hingga menjadi pusat perhatian.
Runi pun hanya mengangguk sambil memperlihatkan senyuman khasnya.
“Ternyata selama ini pandangan kita salah. Baru saja Bono memberitahu kita, bahwa loe memang sahabat yang baik untuk kita. Kita tahu, kita terlalu mengekang loe untuk tidak bergaul bersama mereka, padahal mereka teman SMP loe yang sangat baik. Run, kita berempat akan mencoba berbaik hati untuk bicara dengan Ibumu di kampung, bahwa memang benar, sosok pelukis akan selalu menjadi pemenang yang sukses. Cita-cita mu itu adalah emas Run. Jangan menyerah!”
“Terimakasih ya kalian, sudah bisa menerima gue kembali.”
“Tak perlu Run. Sebaiknya loe berterimakasih pada Bono, dia yang menyadarkan kita.”
Runi pun hanya mengangguk.
“Bono memang baik, dia yang mengajarkan hakikat cita-cita itu sendiri. Kalian tahu? Satu kalimat Bono yang keluar dari mulutnya. Dan sekarang gue nggak bisa lupain kalimat itu begitu saja”
“Apa Run?”tanya Bella.
”Peganglah cita-cita loe, jangan loe lepaskan, hiraukan kegagalan, dan menataplah masa depan.”
Teman-teman Runi pun hanya membalasnya dengan senyuman.
“Thank’s, kalian sudah begitu baik sama gue. Tak hanya menerima gue, tapi juga mau membantu pecahkan problem gue sama nyokap gue.”
Sekali lagi senyuman itu datang untuk Runi.
Dan akhirnya singkat cerita Runi pun bisa menemukan kebebasannya, dia bahagia bersama temannya, Club barunya yaitu Club Art dan yang pasti ibunya telah memberi kepercayaan pada Runi, bahwa Runi harus bisa menjadi Pemenang yang sukses kelak. Menggapai cita-citanya menjadi seorang pelukis terkenal.


Oleh_Qurrotul Anfa

Tidak ada komentar: